Categories

Wednesday, November 25, 2009

Meski Negara Agraris, Indonesia Sulit Capai Kedaulatan Pangan

Meski dijuluki sebagai negara agraris, namun hingga kini Indonesia masih kesulitan untuk mencapai kedaulatan pangan. Ini ditandai dengan banyaknya produk pertanian yang masih mengandalkan produk luar negeri. Padahal sebagai negara agraris dengan kekayaan alamnya, seharusnya dapat mendukung pencapaian swasembada segala produksi pertanian.
“Sampai sekarang kita masih mengimpor beberapa komoditi, ini membuat kita menjadi ketergantungan. Meskipun kita impor, tapi seharusnya didukung dengan persediaan atau ketahanan pangan di dalam negeri,” ujar Ketua Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Edison Purba kepada MedanBisnis, Jumat (30/10).
Menurutnya, kedaulatan pangan itu sangat dibutuhkan dengan didukungnya perhatian pemerintah akan nasib petani serta jaminan harga. Selain itu, dukungan teknologi guna meningkatkan produksi pertanian. “Selama ini hasil produksi kita didikte oleh pasar luas, hingga tidak bisa menentukan harga sendiri meskipun kita yang punya produk,” ucapnya yang juga Ketua Perhimpunan Agronomi Indonesia Sumut.
Kemajuan teknologi pertanian ini, lanjut Edison dapat dicapai dengan memanfaatkan para penelitian di dunia pendidikan serta pihak-pihak industri yang selama ini masih kurang sinkron. Indonesia sebagai negara agraris tidak bisa mengasingkan diri dari perkembangan teknologi bidang pertanian, sebab untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan jumlah bahan pangan yang cukup dan dapat dijangkau masyarakat.
“Dengan bioteknologi pertanian merupakan salah satu pencapaian kualitas dan kuatitas hasil pertanian serta pendapatan petani,” kata Edison.
Bioteknologi pertanian, tambah Ketua Komunikasi Bioteknologi Sumut ini, telah dikomersialisasi sejak 1996 tapi di Indonesia sendiri ini belum dijalankan. Adopsi bioteknologi bidang pertanian secara global menunjukkan angka yang terus meningkat secara signifikan.
Untuk 2008 tanaman biotek telah ditanami seluas 125,8 juta hektar atau naik 9,4% dari tahun sebelumnya yang mencapai 114,3 juta hektar. Tanaman biotek telah diadopsi di 25 negara dan sekitar 12 juta petani di dunia telah menanam berupa kedelai, jagung, kapas dan kanola.
“Peningkatan ini terjadi karena tanaman biotek memberi keuntungan ekonomi lewat hasil produsksi perhektar yang tinggi, biaya pestisida rendah dan menghemat waktu kerja,” sebutnya.

*yuni naibaho

No comments: