Categories

Wednesday, December 30, 2009

Agriculture is Key of National Awakening

Director of Business Management (MB) Pasacasjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Ir Dr Arief said Daryanto Mec agriculture is a key national economic revival.
"The agricultural sector is a fundamental instrument of national economic development," said Arief Daryanto in Bogor, Monday (28/12).
The role of agriculture as a determinant of economic development, according to Arief, occurs in all countries in the world. Developed countries generally make farming as a mainstay in building the economy.

Quotas; ACFTA impact felt in June

Indonesian Food Agriculture Forum (FPPI) assess the impact of systemic co-Asean free trade of China (ACFTA) will be felt only 6 months later after the agreement is implemented.

Coordinator FPPI Benny A. Kusbini said that if the government does not act quickly, then the death knell for the industry, agriculture and unemployment and crime will occur will increase.

"The impact of systemic ACFTA will be felt 6 months later. No FTA only illegal cement from China have been signed," he told Bisnis yesterday.

He suggested that immediate reform of the behavior of officials, so as to provide excellent service. (Business / sep)

Department of Agriculture Bioterrorism Watch

Indonesia Department of Agriculture (MOA) be wary of bioterrorism in the implementation of the Free Trade Agreement (FTA) ASEAN-China. Bioterrorism assessed against domestic food producers because the resulting danger is expected to reduce the national food production up 40%.

This was revealed by Minister of Agriculture Suswono after attending a media event host organism destruction Pengganggu Plant Quarantine (OPTK) and the Pest Animal Disease Quarantine (HPHK) at the Central Agricultural Quarantine (BBKP) Soekarno-Hatta, Wednesday (30/12). "Terrorism as it can reduce our production to 40%," he said.

Suswono see that terrorism is not only emerged from the war physically, but also through economic warfare to destroy food products nationally. It also has seen indications of that.

This threat is indicated by the number of examination requests filed by importers of food products to BBPK. "Since last month, every day there could be 200, even more, the request examination," said Head of the Soekarno-Hatta BBKP Susilo.

Suswono further said that there are many seed plants, such as rice and corn seeds come from Thailand, China, and India, which has a disease that can not be controlled. "If you can not control will be very dangerous if you go to our farm and this must be destroyed," he added. (* / OL-03)

Sunday, December 20, 2009

THE PROJECT PROPOSALS OF PERWIL V FKK HIMAGRI

come and join with us...
PERWIL V (sulawesi, maluku, & Papua) of FKK HIMAGRI

proposal perwil V

Thursday, December 10, 2009

PENGARUH PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN


oleh : WIWIK MAULIDA (G311 08 020 Faperta Unhas)



BAB I
Pendahuluan


Latar Belakang
Perjalanan proses pembangunan tak selamanya mampu meberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat di pedesaan. Pembangunan yang dilakukan di masyarakat desa akan menimbulkan dampak social dan budaya bagi masyarakat. Pendapat ini pada berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan (sosial dan budaya). Selain itu masyarakat pedesaan tidak dapat dilepaskan dari unsure-unsur pokok pembangunan itu sendiri, seperti teknologi dan birokrasi.
Tekhnologi dan birokrasi merupakan perangkat canggih pembangunan namun dilain sisi perangkat tersebut berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang masih tradisional dengan segala kekhasannya. Apalagi jika unsur-unsur pokok tersebut langsung diterapkan tanpa mempertimbangkan aspek sosial, budaya, agama dan lain-lain, maka jangan harap pembangunan akan berhasil. Pihak birokrasi akan sangat memerlukan usaha yang sangat ekstra jika pola kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat sasaran dan tidak berlandaskan pada kebutuhan masyarakat khususnya di pedesaan.
Indonesia merupakan Negara yang kaya dengan sumberdaya alamnya dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan agrarian. Tak salah jika kemudian kurang lebih enampuluh persen penduduknya berkecimpung di dunia pertanian dan umumnya berada di pedesaan. Dengan demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran utama introduksi tekhnologi segala kepentingan, kemajuan pertanian sangat melibatkan unsur-unsur poko tersebut. Oleh sebab itu, masyarakat agrarislah yang pertama menderita perubahan sosial.
Meski catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah.  Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Husken menggambarkan terjadinya perubahan di tingkat komunitas pedesaan Jawa sebagai akibat masuknya teknologi melalui era imperialisme gula dan berlanjut hingga revolusi hijau.
Namun tetap perlu diperhatikan bahwa setiap masyarakat mempunyai “ego”nya dalam segala bidang termasuk aspek tekhnologi dan kebijakan birokrasi. Perubahan yang diharapkan dengan mengintroduksi tekhnologi seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego masyarakat tersebut, sehingga pola perubahan dapat diterima oleh masyarakat. Karena setiap kebijakan dan introduksi tekhnologi yang diberikan pada masyarakat agraris di pedaesaan akan memberikan dampak perubahan sosial yang multi dimensional.
Pelaksanaan kebijakan teknologi pertanian mempunyai jalinan yang sangat kuat dengan aspek-aspek lainnya. Jika kita perincikan dimensi-dimensi perubahan tersebut, maka akan terlihat sangat nyata terjadi perubahan dalam struktur, kultur dan interaksional. Perubahan sosial dalam tiga dimensi ini, kalau dibiarkan terus akan merusak tatanan sosial masyarakat desa. Maka dari itu sangat dibutuhkan kajian yang sangat mendalam untuk mencegah dampak negatif dari kebijakan birokrasi  dan asupan teknologi yang mengiringinya terhadap masyarakat dan aparat yang menjalaninya.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Mengapa teknologi dapat berpengaruh terhadap perubahan sosial di pedesaan?
2.    Mengapa kebijakan birokrasi dapat berpengaruh secara multidimensional terhadap kondisi sosial masyarakat pedesaan?
3.    Mengapa kebijakan birokrasi dapat gagal dalam pembangunan masyarakat pedesaan?


Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui pengaruh teknologi terhadap perubahan sosial di pedesaan?
2.    Untuk mengetahui pengaruh secara multidimensional terhadap kondisi sosial masyarakat pedesaan yang diakibatkan oleh kebijakan birokrasi
3.    Untuk mengetahui kegagalan kebijakan birokrasi dalam pembangunan masyarakat pedesaan.




BAB II
TINJAUAN TEORITIS



II.  1. Teori Perubahan Sosial
Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.


II.1.1. Teori Diktator
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore ini berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah  negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih  jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam  proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.


II.1.2. Teori Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.


II.1.3. Teori Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.


II.1.4. Analisis organisasi sebagai subsistem sosial
Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.
II.2. Perubahan Multidimensional
Seperti yang telah dibahasakan sebelumnya, perubahan yang terjadi akibat kebijakan dan asupan teknologi dapat meranah pada perubahan multidimensional di tengah masyarakat. Perubahan tersebut berupa :


II.2.1. Dimensi Kultural
Perubahan dalam dimensi kultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat, seperti adanya penemuan (discovery) dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaruan hasil (invention) teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan. Kesemuaannya itu meningkatkan adanya integrasi unsur-unsur baru kedalam kebudayaan. Bentuk- bentuk sosial lainnya, dimana bentuknya tidak berubah dan tetap dalam kerangka kerjanya.
Perubahan sosialdan perubahan kebudayaan sulit dipisahkan. Tetepi secara teoritis dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial dan hubungan sosial, sedangkan perubahan kebudayaan mengacu kepada perubahan pola-pola perilaku, termasuk teknologi dan dimensi dari ilmu, material dan nonmaterial.


II.2.2. Dimensi Struktural
Dimensi struktural mengacu kepada perubahan-perubahan dalam bentuk structural masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktural kelas sosial dan perubahan lembaga sosial.
Secara sederhana perubahan struktural dijelaskan sebagai berubahnya bentuk lama diganti dengan bentuk-bentuk baru yang secara tidak langsung dapat menimbulkan difusi kebudayaan. Bentuk umum dan bentuk baru dapat diganti dan dimodivikasi secara terus-menerus.


II.2.3. Dimensi Interaksional
Perubahan sosial menurut dimensi interaksional mengacu pada adanya peubahan pola hubungan sosial di dalam masyarakat. Modifikasi dan perubahan dalam struktur daripada komponen-komponen masyarakat bersamaan dengan pergeseran dari kebudayaan yang membawa perubahan dalam relasi sosial. Hal seperti frekuensi, jarak sosial, peralatan, keteraturan dan peranan undang-undang, merupakan skema pengaturan dari dimensi spesifik dari perubahan relasi sosial. Artinya, perubahan sosial dalam banyak hal dapat dianalisis dari proses interaksi sosial.


 

BAB III
ISI




Teknologi dan Perubahan Sosial di Pedesaan
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya datangnya kolonialis dengan berbagai cirri kebudayaan yang dibawanya, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sanfat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan. Hal ini terjadi karena pada pasca nasional ini, selalu dijadikansasaran utama pembangunan.
Pada masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara teus menerusmengalami perubahan sosial. Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasilpenemuan atau peniruan teknologi khususnyadi bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. Penerimaan terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun60-an masuk ke desa, banyak buruh tanidi pedesaan jadi pengangguran akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor.  
Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaa. Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, di mana buruh wanita yang biasa menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan buruh tani kehilangan pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi, buruhtani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan perputaran ekonomi semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan ini tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.


Perubahan Multidimensional di Pedesaan
Proses pembangunan pedesaan di daerah pertanian tidak lain adalah suatu perubahan sosial. Demikian pula introduksi teknologi ke pedesaan yang bermula dari kebijakan orde baru membebek pada isu global bernama revolusi hijau menimbulkan prubahan sosial dalam berbagai dimensi. Masuknya traktor atau mesin penggiling padi ke pedesaan menyebabkan berkurangnya peranan buruh tani dalam pengelolaan tanah dan berkurangnya peranan wanita dalam ekonomi keluarga di pedesaan.
Teknologi yang masuk ke desa tersebut banyak dikuasai oleh golongan ekonomi kelas atas dan menengah di desa. Golongan tersebut dengan pendirinya akan menentukan pasaran kerja di desa. Keadaan demikian akan menggeser peranan pemilik ternak kerbau atausapi sebagai sumber tenaga kerja pengolah sawah.
Masuknyan teknologi perangkat usaha ternak sapi perah, menggeser peternak tradisional yang hanya memiliki satu sampai tiga ekor ternak. Perangkat teknologi tersebut merubah sistem beternak, dari ekonomi keluarga ke ekonomi komersial, dengan jumlah ternak yang banyak dan dikuasai oleh golongan ekonomi kuat di desa atau di kota yang menanamkan modalnya di desa. Perangkat teknologi sapi perah seperti mixer makanan ternak, cooling unit susu, sistem pengawetan dan lain-lain, memungkinkan orang untuk menangani jumlah ternak sapi lebih banyak. Hal ini memberikan bukti bahwa teknologi mengakibatkan meningkatnya ukuran usaha tani di pedesaan.
Belum lagi kebijakan-kebijakan sederhana yang ada di pedesaan. Penunjukan kepala desa sebagai ketua LKMD misalnya, hal ini mengakibatkan pengaruh Negara akan semakin dominan yang notabene tidak terlalu paham dengan kondisi sosial masyarakat desa setempat. Pola pengaruh ini bermula dari penggunaan kekuasaan yang terlalu berlebih. Dengan dalih pembangunan, para kusir delman tergeser oleh adanya transportasi angkutan pedesaan. Struktur ekonomi kembali dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Disini terjadi perubahan peranan LKMD, yang sebelumnya sebagai akumulasi aspirasi masyarakat berubah menjadi wadah aspirasi penguasa.
Masuknya teknologi ke desa, seperti halnya mekanisasi dalam bidang pertanian, juga mempengaruhi organisasi dan manajemen usaha tani. Mekanisasi pertanian menuntut adanya keterampilan baru bagi para pekerja. Tuntutan tersebut, dengan sendirinya membutuhkan modal yang besar sehingga melibatkan bank dan pemodal lainnya. Pengadaan modal untuk pengembangan industri atau mekanisasi di desa, ditunjang oleh kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk pemberian pinjaman berupa kredit. Kebijaksanaan ini meransang timbulnyakeberanian untuk meminjam kredit dalam jumlah besar, tanpa diimbangi oleh sistem organisasi dan manajemen yang memadai, sehingga muncul dimana-mana tunggakan kredit, seperti bimas atau industri kecil menubggak.
Dengan terjadinya perubahan structural tersebut, tidak mampu dinafikan bahwa budaya atau kultur masyarakat pun ikut berubah. Seperti yang telah dijelaskan secara teoritis perubahan kultur sosial  menyangkut segi-segi non material, sebagai akibat penemuan batau medernisasi. Artinya terjadi integrasi atau konflik unsur baru dengan unsur lama sampai terjadinya sintesis atau penolakan sama sekali.
Masuknya teknologi atau adanya mekanisasi di desa mengakibatkan banyaknya pertambahan jumlah penduduk yang menganggur, transformasi yang tidak jelas, dan pola komunikasi yang sejalan dengan perubahan komunitas di desa.kesemuanya itu merupakan inovasi, baik itu hasil penemuan dalam berpikir atau peniruan yang dapat menimbulkan difusi atau integrasi. Peristiwa-peristiwa perubahan kultural meliputi “cultural lag, cultural survival”,  cultural conflict dan ”cultural shock”.
Hal di atas juga sangat besar pengaruhnya terhadap interaksi, sebab melalui teknologi aktivitas kerja menjadi lebih sederhana dan serba cepat. Hubungan antara sesame pekerja menjadi bersifat impersonal, sebab setiap pekerja bekerja menurut keahliannya masing-masing (spesialis). Hal ini berbeda dengan kegiatan pekerjaan yang tanpa teknologi, tidak bersifat spesialis dimana setiap orang dapat saling membantu pekerjaan, tidak dituntut keahlian tertentu.
Teknologi berkaitan dengan pembatasan pekerjaan yang bersifat kerjasama, sehingga dapat menimbulkan konflik pada komunitas pertanian. Adanya teknologi, praktek-praktek saling membantu menjadi terhenti dan kerjasama informal menjadi berkurang. Proses mekanisasi di daerah pertanian menyebabkan hubungan bersifat kontrak formal. Tenaga kerja berkembang menjadi tenaga kerja formal yang kemampuandan keahliannya terbatas.  Lambat laun di pedesaan akan muncul organisasi formal tenaga kerja sebagai akibat terspesialisasi dan meningkatnya pembagian kerja. Hal inilah yang oleh Durkheim dinamakan solidaritas organic (organic solidarity) yang lebih sering terjadi pada komunitas perkotaan.
Masuknya teknologi ke desa menyebabkan kontak sosial menjadi tersebar melalui berbagai media dan sangat luas, melauli perdagangan, pendidikan, agama dan sebagainya. Akibat pola hubungan yang Yng bersifat impersonal, maka ketidak setujuan atau perbedaan pendapat sulit diselesaikan secara kekluargaan, tetapi harus melalui proses peradilan. Hal ini tampak dengan adanya kebijaksanaan jaksa masuk desa, dimana sebelumnya konflik di desa cukup diselesaikan dengan oleh ketua kampong atau sesepuh desa.


Gagalnya Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pedesaan
Proses pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Frans Hüsken misalnya, pada tahun 1974 ia melakukan penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah.  Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Husken menggambarkan terjadinya perubahan di tingkat komunitas pedesaan Jawa sebagai akibat masuknya teknologi melalui era imperialisme gula dan berlanjut hingga revolusi hijau.
Pendapat Marx tentang perubahan moda produksi menghasilkan perubahan pola interaksi dan struktur sosial tergambar jelas dalam tulisan husken. Masyarakat jawa yang semula berada pada pertanian subsisten dipaksa untuk berubah menuju pertanian komersialis. Perubahan komoditas yang diusahakan menjadi salah satu indikator yang dijelaskan oleh Husken. Imperialisme gula telah merubah komoditas padi menjadi tebu yang tentu berbeda dalam proses pengusahaannya. Gambaran ini semakin jelas pada masa orde baru dengan kebijakan revolusi hijaunya.
Gambaran serupa tampak pada tulisan Hefner, Jellinek dan Summers. Kebijakan pemerintah yang mengacu pada model modernisasi selalu menekankan pada pembangunan ekonomi yang merubah moda produksi dari pertanian menuju industri. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme membawa dampak pada kehidupan di tingkat komunitas.
Ini berarti kebijakan pemerintah tidak selamanya memperhatikan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di pedesaan. Hanya memaksakan pemerataan pembangunan tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang akan terjadi dibalik kebijakan tersebut. Meskipun introduksi teknologi dapat menerobos pedesaan, akan tetapi hal tersebut merubah pola interaksi dari structural dan kultural masyarakat pedesaan. Sehingga kegagalan kebijakan pemerintah terlihat jelas dengan adanya abcontrol pada dampak negatif yang menggerayangi kehidupan masyarakat desa.
Untuk perlu pertimbangan yang matang dan pisau analisis yang tajam bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pembangunan khususnya pertanian di pedesaan. Agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat dan lingkungan sekitarnya.




BAB IV
PENUTUP


Kesimpulan
            Dari ulasan sederhana tentang pengaruh introduksi teknologi dan kebijakan pembangunan pertanian terhadap perubahan sosial masyarakat pedesaan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.    Teknologi dan birokrasi merupakan dua unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam konteks pembangunan di pedesaan
b.    Teknologi dan birokrasi telah menimbulkan perubahan sosial dalam tiga dimensi utama; structural, kultural dan interaksional.
c.    Akibat teknologi masuk desa, telah menimbulkan pergeseran struktur kehidupan masyarakat, struktur ekonomi, lembaga sosial, lembaga pendidikan dan keluarga
d.    Revolusi hijau mampu mempolarisasi ekonomi masyarakat tani dengan adanya asupan teknologi
e.    Pembangunan pertanian di pedesaan mestinya menghindari dampak pergeseran budaya, struktur dan interaksional masyarakat.
f.     Hambatan polarisasi sosial sangat ditentukan oleh katup pengaman berupa urbanisasi secara sirkuler agar dampak negatif yang timbul dapat ditekan jumlahnya.




Saran
Penulis mencoba menawarkan saran sebagai tindak lanjut dari permasalahan yang ada berupa :
a.    Paradigma pembangunan tidaklah mesti berladaskan pada pertumbuhan sektoral, akan tetapi pemerataan dari segala aspek, mulai dari pendidikan, ekonomi, dan teknologi agar tidak terjadi ketidak stabilan sosial masyarakat
b.    Kebijakan pemerintah dalam pembangunan mestinya berlandaskan pada kebutuhan masyarakat dan tidak bersifat sentralistik, akan tetapi merata di seluruh pelosok
c.    Kemandirian masyarakat tani perlu ditingkatkan dalam menggali potensi mereka, sehingga pola interaksi tetap berjalan dengan baik dan nilai kerjasama anatar masyarakat tetap terjaga. 




Monday, December 7, 2009

Deptan Usulkan Tambahan Subsidi Pupuk Rp 6 Triliun

JAKARTA--Departemen Pertanian (Deptan) mengusulkan penambahan anggaran sebesar Rp6 triliun untuk menutupi kekurangan subsidi pupuk berkaitan dengan rencana kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk pada April 2010.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono di Jakarta, Senin mengatakan, penambahan anggaran tersebut sudah dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2010. "Tetapi hal itu belum diputuskan. Nanti pada saat sidang kabinet yang akan datang baru bisa diputuskan," katanya pada acara temu dengan Pimpinan Media Massa.

Menurut dia, dengan penambahan anggaran sebesar Rp 6 triliun tersebut maka pengurangan anggaran subsidi pupuk tahun 2010 akan dikembalikan lagi.  Anggaran subsidi pupuk tahun 2010 sebesar Rp11,3 triliun, atau turun sebesar Rp6,2 triliun dibandingkan alokasi anggaran pupuk subsidi tahun 2009 sebesar Rp17,5 triliun.

Mentan mengatakan, selain kenaikan HET pupuk, Pemerintah juga akan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) pada Gabah Kering Panen (GKP) yang akan diberlakukan pada bulan januari 2010 sebelum HET pupuk naik. Dijelaskannya, HPP Gabah Kering Panen (GKP) akan dinaikkan pada Januari 2010 besarannya sekitar 10 persen, sehingga diharapkan bisa menambah pendapatan petani kalau sarana produksi lainnya, di luar pupuk tidak naik. "Karena pengeluaran biaya untuk pupuk sekitar 7-10 persen, jadi itu sangat kecil. Adapun HET pupuk, lanjutnya, akan dinaikkan mulai April 2010 maksimal 50 persen," katanya.

Dengan kenaikan HET 50 persen, tambahnya, jika kebutuhan pupuk untuk sekitar 4-5 karung atau sebesar 200 kg ? 250 kg/hektar, maka setiap hektar hanya ada kenaikan biaya maksimal sebesar Rp150.000 untuk biaya pupuk.

Sementara itu dengan kenaikan HPP 10 persen, maka keuntungan petani mencapai Rp1.000.000, jika produktivitas rata-rata sebesar 5 ton per hektare. Suswono menyatakan, jika petani bersedia mengubah cara bertanam dengan pola metode SRI (System of Rice Intensification), maka akan menghemat bibit sekitar 80 persen, begitu juga pemakaian pupuk kimia akan hemat juga karena akan ditunjang dengan pupuk organik. "Dengan penggunaan metode SRI maka akan meningkatkan produksi sekitar 9 ton per hektar dan kondisi tersebut tentu akan meningkatkan lagi pendapatan petani," katanya. ant/kpo(Republika Newsroom)

BUDI DAYA Deptan salurkan dana LM3

BOGOR: Departemen Pertanian tahun ini mengalokasikan dana Bantuan Langsung Masyarakat Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (BLM-LM3) sebesar Rp200 miliar.
Menteri Suswono menyatakan dana tersebut akan disalurkan kepada 1.289 LM3 di seluruh Tanah Air. “Dana ini disalurkan untuk bidang usaha tanaman pangan, hortikultura, peternakan, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan pengembangan LM3,” ujarnya di Bogor akhir pekan lalu.
Sejak 2006 hingga 2008, Deptan telah menyalurkan dana lebih dari Rp500 miliar kepada 3.065 LM3 di seluruh Tanah Air. Menurut Suswono, program pengembangan usaha agribisnis melalui LM3 bertujuan untuk menumbuhkan jiwa wirausaha bagi para pengelola LM3, menciptakan lapangan kerja di pedesaan dan meningkatkan pendapatan petani serta komunitas LM3. (Bisnis/dle)

Saturday, December 5, 2009

Presiden Peringatkan 'Gerakan' 9 Desember

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperingatkan ada pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan peringatan Hari Antikorupsi Dunia pada 9 Desember 2009 untuk menggelar gerakan sosial bermotif kepentingan politik.
Dalam pengantar sebelum memulai rapat kabinet paripurna membahas program 100 hari di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat, Presiden di hadapan para menteri mengatakan sejak lima tahun terakhir peringatan Hari Antikorupsi Sedunia telah digunakan untuk menambah semangat dan kegigihan guna memberantas korupsi di Indonesia.
Namun, lanjut Presiden, ia mendapatkan informasi bahwa pada 9 Desember mendatang akan ada gerakan-gerakan sosial bermotif politik yang sama sekali tak berkaitan dengan semangat antikorupsi.
"Informasi yang saya dapat juga ada yang motifnya bukan itu, tapi motif politik yang sesungguhnya tak senantiasa atau selalu terkait dengan langkah pemberantasan korupsi," ujarnya.
Menurut Presiden, mungkin saja pada 9 Desember 2009 nanti akan muncul tokoh-tokoh yang selama ini tidak ia ketahui sepak terjangnya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Mungkin saja akan muncul tokoh-tokoh nanti pada 9 Desember yang selama lima tahun lalu tidak pernah saya lihat kegigihannya di dalam memberantas korupsi mungkin akan tampil. Ya selamat datang kalau memang ingin betul memberantas korupsi di negeri ini bersama-sama, dengan demikian akan bawa manfaat bagi rakyat kita," tuturnya.
Presiden juga kembali menyampaikan di balik hiruk pikuk pemberitaan tentang Bank Century, terdapat motivasi politik yang tidak dapat digolongkan sebagai rasa ingin tahu masyarakat.
"Saya katakan seperti itu supaya saudara tidak 'surprise' nanti. Tetapi, pesan saya, apa pun yang akan terjadi di Jakarta utamanya, jangan ganggu sama sekali konsentrasi dan kegigihan kita untuk melaksanakan tugas pokok kita menjalankan tugas-tugas kita bersama menyukseskan pembangunan dan dapat ditingkatkannya kesejahteraan rakyat kita," tuturnya. 
Kepala Negara memperkirakan situasi politik tetap akan menghangat selama satu hingga lima minggu terakhir, dan menganggapnya sebagai tidak luar biasa dalam kehidupan demokrasi.
"Ini bagian dari ekspresi kebebasan, bagian dari demokrasi itu sendiri. Sepanjang semua itu tidak sampai pada terguncangnya stabilitas di negeri ini yang akhirnya apa yang harus dilakukan pemerintah tidak bisa dilakukan, dan yang akan menjadi korban adalah rakyat kita," ujar Presiden.

Galapagos Menghadapi Kerusakan Ekologi



PULAU Galapagos telah lama terkenal sebagai wahana wisata menarik di Ekuador juga berkat kedatangan Charles Darwin melakukan penelitian di pulau tersebut. Tidak itu saja, Galapagos juga terkenal akan kenyamanan wisatawan berlibur di sana untuk menikmati keindahan alam dan udaranya yang segar.
Ya, Galapagos. Kenyamanan itu kini mulai terusik, padahal arus wisatawan yang ingin menikmati alam asri yang indah itu terus membubung. Penyebabnya, kedengaran sepele tetapi perlu menjadi perhatian, nyamuk. Sekali lagi nyamuk.
Nyamuk terus berdatangan ke Galapagos bersama dengan wisatawan yang menggunakan sarana angkutan udara, pesawat terbang, kapal atau boat. Gara-gara nyamuk itu mengancam terjadinya “kerusakan ekologi” di pulau pusat evolusi teori Darwin itu, demikian hasil sebuah studi belum lama ini.
Serangga tersebut bisa menyebar dan berpotensi menimbulkan penyakit kulit di nusantara lepas pantai Pasifik Ekuador yang merupakan basis kegiatan studi berkaitan dengan kemungkinan perkembangbiakan di masa datang bertema “On the Originof Species by Means of Natural Selection”.
“Sejumlah wisatawan telah menyadari itu karena perjalanan mereka ke Galapagos bisa sesungguhnya meningkatkan resiko gangguan ekologi”, ujar Simon Goodman dari Leeds University, salah seorang penyusun hasil studi tersebut.
“Gara-gara kami belum melihat penyakit tersebut berdampak serius di Galapagos, tampaknya itu faktor keberuntungan saja”, katanya.  Studi tesebut menemukan bahwa nyamuk rumah di wilayah selatan, Culex qinquefasciatus, secara reguler ikut terbang bersama pesawat yang berasal dari Amerika Selatan, dan juga bersama boat-boat wisatawan dari satu pulau ke pulau yang lain.
Spesies itulah yang mengancam masyarakat berbagai penyakit seperti avian malaria atau West Nile termasuk daerah-daerah paling terkenal seperti di kawasan habitat kura-kura raksasanya, singa laut dan daerah habitat sejenis burung kutilangnya. Arnaud Bataille, peneliti lain hasil studi setebal delapan halaman itu mengatakan:

TAK SEBERAPA
Jumlah nyamuk per pesawat yang ikut terbang jumlahnya rata-rata tidak seberapa, namun seringnya pesawat bolak balik setiap hari memberikan pelayanan ke wilayah industri wisata tersebut membuat jumlah nyamuk yang datang menjadi banyak.
Jeleknya, nyamuk tampaknya bisa hidup dan berkembang biak begitu mereka meninggalkan pesawat, tambahnya. Goddman mencatat bahwa pemerintah Ekuador belum lama ini mulai mewanti-wanti dengan menganjurkan kepada seluruh pesawat terbang yang menuju Galapagos untuk terlebih dahulu melakukan penyemperotan anti serangga, namun langkah itu masih perlu dievaluasi.
“Sejalan dengan pertumbuhan kepariwisataan yang sedemikian cepat, masa depan Galapagos tergantung pada kemampuan pemerintah Ekuador mempertahankan pencegahan serangga pendatang di pulau itu”, ujarnya.
Studi yang bekerjasama dengan Leeds University, Zoogogical Society of London, University of Guayaquil, Galapagos National Park, dan Yayasan Charles Darwin itu dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society, akademi de faktor bidang sains Inggris.
Sekitar 10.000 jiwa, sebagian besar nelayan, hidup di nusantara bergunung berapi Galapagos yang sangat terkenal sejak Charles Darwin melakukan berkunjung untuk melakukan penelitian tahun 1835. ***annisa_news

Thursday, December 3, 2009

G-33 lindungi negara berkembang Negosiasi pertanian harus berimbang dan propembangunan

JENEWA: Negara-negara berkembang anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sepakat memperjuangkan perlindungan bagi sektor pertanian lewat perlakuan khusus, dan mempertahankan sistem perdagangan multilateral.

Anggota Kelompok 33 (G-33) dalam WTO menyatakan mereka akan memperjuangkan suatu sistem perdagangan internasional yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan negara-negara berkembang, yang menjamin keamanan pangan, kelanjutan hidup yang berkualitas dan pembangunan perdesaan.

"Sistem perdagangan multilateral harus mendukung kebutuhan semua orang, terutama mereka yang cenderung terpinggirkan oleh globalisasi," kata Menteri Perdagangan Mari Pangestu yang memimpin pertemuan G-33, Minggu.

Negara berkembang dan miskin di WTO membentuk kelompok-kelompok, yakni G-20, G-33 dan G-110. Kelompok 20 fokus pada isu besar pertanian, G-33 pada isu pertanian yang lebih mikro, sedangkan G-110 bersifat umum. Indonesia berstatus anggota di G-20 dan G-110, dan sebagai koordinator di G-33.

Konferensi Tingkat Menteri VII WTO, berlangsung sejak Minggu di Jenewa dalam bentuk pertemuan-pertemuan kelompok, membahas upaya menembus kebuntuan negosiasi perdagangan Putaran Doha.

Kebuntuan Doha terjadi karena berlarutnya perselisihan antara negara maju dan berkembang di seputar masalah pertanian, terutama subsidi pertanian di negara maju.

Kelompok 33 menginginkan adanya perlindungan terhadap pertanian di perdesaan-yang merupakan bagian terbesar dari sektor pertanian di negara berkembang-sehingga petani kecil tidak tergilas oleh liberalisasi dan ketahanan pangan terjamin. Caranya, lewat penerapan konsep produk khusus (special product) dan mekanisme perlindungan khusus (special safeguard mechanism) berhadapan dengan produk impor atau tekanan harga.

Dalam kerangka itu, negara berkembang menyerukan suatu negosiasi pertanian yang berimbang dengan hasil yang propembangunan. Sikap Amerika Serikat akan menentukan sejauh mana harapan negara-negara berkembang itu dapat terwujud. AS, bersama Jepang dan Eropa, dikenal sangat protektif terhadap sektor pertanian mereka.

Sidang pleno KTM VII WTO pada Senin melibatkan 153 anggota organisasi tersebut.

Negara-negara berkembang, sebagaimana tergambar dalam komunike G-20 dan G-33, juga mencemaskan dampak krisis ekonomi dan finansial 2008 terhadap legitimasi globalisasi, sehingga mereka menyerukan langkah bersama menyelamatkan Putaran Doha guna menjamin kelanjutan pemulihan ekonomi. (linda.tangdiala@bisnis.co.id)

Oleh Linda Tangdialla