Categories

Sunday, April 25, 2010

Mahasiswa dan Petani

APAKAH mahasiswa pernah berpikir, nasi yang mereka makan setiap hari adalah hasil keringat petani? Apakah mereka tahu dan berpikir, petani terkadang menahan lapar untuk mengirit ongkos hidup sehari-sehari?

Banyak anak petani dikirim belajar ke kota. Mereka ingin memperoleh pendidikan lebih tinggi dan layak untuk mengubah nasib orang tua jadi lebih baik. Orang tua yang berharap anak-anak itu kelak tak hidup seperti mereka sebagai petani.
Mengapa? Adakah yang salah dengan profesi petani?

Mahasiswa diasumsikan sebagai kaum intelektual yang elite, yang berbeda dari masyarakat biasa. Tak mengherankan jika setelah pulang kampung, mereka merasa asing di desa. Mereka merasa elite, lalu hidup mengelite di masyarakat yang berbeda. Padahal, mereka dulu hidup dan dihidupi keluarga di desa yang sebagian besar petani. Bahkan tak sedikit orang tua mereka menjual sawah untuk biaya kuliah.

Tak ada yang salah dengan asumsi bahwa mahasiswa adalah kaum elite karena itulah harapan yang dibangun. Mereka diharapkan mampu jadi pemimpin dan motor perubahan serta berperan dalam penguatan rakyat dari tingkat desa hingga kelak di birokrasi pemerintahan, bahkan sampai jadi pemimpin bangsa.
Pemimpin Masa Depan Ya, bukankah pemuda sekarang pemimpin di masa datang? Yang jadi masalah, mental “mengelite” itu malah menjauhkan diri mereka dari realitas kehidupan di sekitar, khususnya bagi anak petani.

Mahasiswa dididik berdasar harapan yang melekat pada disiplin ilmu masing-masing. Mahasiswa keguruan ya jadi guru, mahasiswa teknik ya jadi ahli teknik, yang jadi petani adalah para insinyur pertanian.  Namun yang terjadi tak seperti itu. Sebab, sang insinyur malu mencangkul di sawah. Apalagi yang tak punya latar belakang pendidikan pertanian.

Sikap hidup elite mahasiswa membawa mereka ke alam idealitas yang kontradiktif dengan realitas hidup. Mahasiswa anak petani, kini lupa meningkatkan kesejahteraan petani. Mereka malu diketahui sebagai anak petani yang hidup di atas lumpur sawah. Terbukti, orientasi kerja mereka menjadi PNS. Itu nyaris terjadi pada setiap mahasiswa dari berbagai bidang kelimuan.

Kriminalisasi Petani

DUNIA pertanian seakan memang identik dunia derita. Ironisnya, derita ini justru menggambarkan derita rakyat di negeri yang mengaku sebagai negeri agraris. Seolah, petani yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini tidak memiliki hak jangankan sejahtera, lebih baik sedikit saja adalah tidak boleh bahkan mungkin haram.(Prof Dr Mochammad Maksum)
Apa yang dihadapi petani Indonesia, barangkali adalah mimpi buruk. Awal Maret 2010 petani sedikit dihibur dengan mimpi swasembada yang tidak jelas untuk lima komoditas strategis: beras gula, jagung, kedele dan daging sapi. Kini nyaris keseluruhan progres pembangunan pertanian diwarnai dengan indikasi meningkatnya derita rakyat tani.

Wednesday, April 14, 2010

Khasiat Jagung Oranye untuk Mengatasi Kebutaan

West Lafayette - Apa beda jagung kuning dan jagung oranye? Beruntunglah negara kita, juga negara-negara di Asia pada umumnya, yang banyak tumbuh jagung berwarna oranye. Ternyata jagung oranye lebih kaya bahan vitamin A dibanding jagung kuning atau putih. Warna oranye berasal dari karotenoid kadar tinggi, salah satunya adalah beta-karoten. Di dalam pencernaan, manusia mengubah beta-karoten, yang juga berlimpah di wortel, menjadi vitamin A.

Torbert Rocheford, profesor agronomi di Universitas Purdue, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat, memimpin penelitian kandungan jagung ini yang dikaitkan dengan tingkat kebutaan dan kematian anak.