Categories

Sunday, April 25, 2010

Kriminalisasi Petani

DUNIA pertanian seakan memang identik dunia derita. Ironisnya, derita ini justru menggambarkan derita rakyat di negeri yang mengaku sebagai negeri agraris. Seolah, petani yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini tidak memiliki hak jangankan sejahtera, lebih baik sedikit saja adalah tidak boleh bahkan mungkin haram.(Prof Dr Mochammad Maksum)
Apa yang dihadapi petani Indonesia, barangkali adalah mimpi buruk. Awal Maret 2010 petani sedikit dihibur dengan mimpi swasembada yang tidak jelas untuk lima komoditas strategis: beras gula, jagung, kedele dan daging sapi. Kini nyaris keseluruhan progres pembangunan pertanian diwarnai dengan indikasi meningkatnya derita rakyat tani.
Media massa akhir-akhir ini banyak mengungkap derita petani. Mulai rendahnya harga pembelian pemerintah (HPP) gabah ditengah melejitnya harga pupuk, kualitas turun akibat cuaca hingga beras miskin (raskin) yang tak layak. Kini yang kian sangat menyakitkan adalah ketika di penghujung April muncul aturan yang diwarnai dengan ancaman kriminalisasi petani yang teramat menakutkan.Bagaimana tidak? Hari-hari ini telah tersusun draf Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) tentang tanaman pangan, sebagai terjemahan teknis dari PP 18/2010, yang di antaranya mengamanatkan wajib lapor bagi rakyat tani ketika menanam tanaman pangan: padi, jagung, kedele,singkong, ubi jalar dan lainnya. Kata-kata ‘wajib lapor’ ini secara hukum tentu punya konsekuensi serius dan syarat kriminalisasi. Nalarnya, ketika rakyat tani tidak melapor maka itu bisa berarti pembangkangan terhadap aturan perundangan. Dan karenanya, akan dengan mudah di masa mendatang petani kena tuduhan subversif! Kecuali menambah beban rakyat tani, Kepmentan ini sarat potensi kriminalisasi.
Belakangan diketahui bila Draf Kepmentan ini, ternyata disusun para petinggi Kepmentan dengan tanpa melibatkan siapapun, termasuk rakyat tani dan NGO. Akibatnya, Kepmentan tersebut sungguh tidak memiliki sensitivitas memadai terhadap keniscayaan basis, rakyat tani pedesaan. Karena rendahnya sensitivitas tersebut, maka bisa dipastikan bahwa efektifitasnya pasti sangat rendah. Pada gilirannya, ujung dari segalanya adalah terjadinya kriminalisasi petani, karena mayoritas petani tidak menjalankan kewajiban yang memang tidak masuk akal.
Bagaimana solusinya? Harus diakui, pendataan dan pengendalian itu sungguh perlu. Apalagi untuk kedaulatan pangan RI. Akan tetapi, tidak dengan cara membebani petani yang sudah sekian lama menjadi tumbal pembangunan. Karena beban petani untuk hidup saja sudah kian berat.
Maka adalah sebuah keharusan untuk membatalkan pengesahan draf jelek itu menjadi Kepmen. Beberapa tahapan legal masih perlu dilakukan untuk uji kelayakannya dengan mendengarkan petani dan rekan-rekan yang dekat rakyat tani selama ini, non govermental organization (NGO). Untuk NGO inipun diperlukan selektivitas memadai untuk menghindarkan diri dari jebakan NGO plat merah. Sekali lagi, agar potensi kriminalisasi jelas di depan mata bisa dihindarkan.
Draf itu tidak pantas disahkan menjadi Kepmen. Ketika dipaksakan pengesahannya, sungguh bisa dibayangkan bagaimana terganggunya rasa keadilan di negeri yang konon memiliki Pancasila yang di antaranya mengatakan: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Entahlah, jika sila-sila dalam Pancasila itu memang sudah diabaikan oleh mereka yang mengatur negeri ini. (Penulis adalah Guru Besar FIP FTP UGM dan Ketua PWNU DIY)-b

No comments: