Categories

Wednesday, February 24, 2010

Pertanian Butuh Pengetahuan

Di antara hasil yang paling menarik dari KTT APEC di Singapura beberapa waktu lalu adalah pengakuan tentang perlunya paradigma baru dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ini, kata mereka, harus didukung oleh inovasi dan ekonomi berbasis pengetahuan untuk memastikan pemulihan yang tahan lama yang akan menciptakan lapangan kerja dan bermanfaat bagi masyarakat.


Para pemimpin negara-negara APEC sepertinya telah sampai pada kesimpulan mengenai pentingnya aspek pengetahuan untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam menyelesaikan persoalan ekonomi yang terjadi saat ini. Persoalan ekonomi yang terjadi hari ini memang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan konvensional, karena memang tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks dan dinamis dari pada yang pernah terjadi sebelumnya.

Terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam cara pemimpin dunia memandang persoalan ekonomi hendaknya juga disertai dengan perubahan cara pandang kita terhadap pembangunan dunia pertanian kita. Karena, pertanian sampai saat ini masih menjadi bagian dari sektor ekonomi Indonesia yang tertinggal bila dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Padahal selama ini tuntutan terhadap dunia pertanian begitu tinggi. Seperti menyediakan bahan pangan yang cukup dengan harga yang murah.

Saat ini dunia pertanian Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan. Jumlah penduduk yang bertambah dengan cepat berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan pangan yang harus disediakan oleh dunia pertanian. Pada saat yang sama sumber-sumber produktivitas pertanian kita semakin menurun. Seperti sulitnya mendapatkan bibit unggul, semakin berkurangnya infrastruktur irigasi yang memadai, meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian, kurang tersedianya peralatan dan teknologi pertanian yang cukup, dan langkanya sumberdaya manusia terdidik yang mau menekuni dunia pertanian.

Dalam dunia pertanian kita masalah mendasar adalah dari hari ke hari dunia pertanian
kita kehilangan generasi cerdas yang mampu mengkapitalisasi pengetahuan untuk kepentingan dunia pertanian. Setiap mereka yang pergi ke sekolah selalu menolak untuk menghidupi dan membesarkan dunia pertanian. Padahal, bertani tidak sekedar membutuhkan kecerdasan turunan. Melainkan juga membutuhkan inovasi yang dikembangkan dengan berbasis pengetahuan.

Dalam persoalan bibit, misalnya, kampanye tentang bibit impor sebagai bibit unggul yang harus digunakan oleh patani sesungguhnya adalah bagian dari kebodohan. Petani diajarkan untuk menjadi manusia-manusia instant yang memiliki kebergantungan tinggi pada sumberdaya luar.

Tentu hal ini akan menyebabkan pertanian yang berbiaya tinggi yang mengakibatkan produk pertanian kita menjadi kurang kompetitive baik dipasar internasional maupun domestik. Namun pengembangan bibit lokal tanpa basis pengetahuan yang baik juga hanya akan menyesatkan dan menyengsarakan petani. Tragedi supertoy beberapa waktu lalu merupakan cerita buruk dari gagalnya pembinaan petani yang berbasis pengetahuan.

Banyaknya produk-produk pertanian kita yang kalah bersaing meski di pasar domestik seperti jeruk, apel, gula, dan lain-lain menunjukkan ketidakmampuan menggunakan informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian kita. Dalam hal ini inovasi di bidang pemasaran sangat dibutuhkan oleh petani Indonesia.

Dari mulai bagaimana mengidentifikasi kebutuhan konsumen sampai bagaimana mengakses pasar secara effektif dan efisien. Petani-petani di negara maju seperti di Jepang dan New Zealand bahkan telah melakukan inovasi bukan hanya di level produk melainkan juga dari bagaimana cara mengemas produk-produk pertanian mereka sehingga lebih memberikan daya tarik bagi konsumen.

Menindaklanjuti fikiran-fikiran para pemimpin negara dalam pertemuan APEC tersebut pemerintah Indonesia perlu lebih serius untuk membangun knowledge-based agriculture atau pertanian yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Karena, hanya dengan cara itu petani Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari petani-petani di negara lain.

Dengan knowledge-based agriculture maka tragedi "padi supertoy" pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akan terulang kembali. Implementasi knowledge-based agriculture akan memberikan kemampuan pada petani untuk selalu memahami dinamika pasar yang terjadi sehingga dengan informasi dan pengetahuan yang dimiliki mereka bisa berintegrasi dengan dinamika pasar yang terjadi.

Pembangunan knowledge-based agriculture membutuhkan sinergi total dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan yang didedikasikan untuk petani dan dunia pertanian. Untuk mengembangkan pertanian berbasis pengetahuan, kebijakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri, harus dirumuskan untuk memaksimalkan kinerja dan kesejahteraan di sektor pertanian.

Dengan kata lain pengembangan pengetahuan dan teknologi harus diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas dalam bidang pertanian. Dalam hal ini investasi di bidang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta pembaruan dalam struktur kerja manajerial para petani menjadi kunci utama.

Knowledge-based agriculture menggarisbawahi akan pentingnya proses belajar yang terus-menerus di kalangan petani sendiri. Dalam pertanian berbasis pengetahuan inovasi juga didorong oleh interaksi antara produsen dan pengguna. Pasar-pasar pertanian yang mempertemukan petani dengan konsumennya secara langsung memungkinkan petani mengetahui dengan baik apa yang diinginkan oleh konsumen mereka. Dengan dukungan pengetahuan yang memadai dan dukungan infrastruktur research and development yang dimiliki lembaga-lembaga penelitian maka petani akan mampu menyediakan apa yang dibutuhkan konsumen dengan baik.

Konfigurasi sistem inovasi nasional, yang terdiri dari sektor pertanian, pemerintah, dan akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, harus menjadikan pertanian sebagai agenda penentu. Pertanian berbasis pengetahuan dicirikan dengan semakin meningkatnya permintaan kepada petani untuk lebih terampil.

Penekanan kebijakan pemerintah akan lebih banyak pada peningkatan modal manusia melalui peningkatan akses ke berbagai keterampilan, dan terutama kapasitas untuk belajar; meningkatkan kekuatan distribusi pengetahuan pertanian melalui jaringan kolaboratif dan difusi teknologi; dan menyediakan kondisi untuk memungkinkan organisasi-organisasi di tingkat petani untuk memaksimalkan manfaat teknologi untuk produktivitas.

Selama ini sinergi total belum terjadi karena miskinnya arahan visi yang jelas mengenai arah pembangunan dunia pertanian kita. Kemewahan industrialisasi dan perdagangan jasa telah melupakan sektor yang sesungguhnya menjadi penopang kehidupan bangsa ini sejak jaman dahulu. Pemerintah kurang percaya diri untuk mendeklarasikan Indonesia sebagai Negara berbasis pertanian dan memobilisasi seluruh sumber daya untuk kemajuan dunia pertanian.

Kita sering lupa bahwa yang mendorong bangsa-bangsa asing datang dan menjajah Indonesia sejak zaman Portugis, Belanda, sampai Jepang adalah karena keunggulan komparatif pertanian kita.

Dengan knowledge-based agriculture kita akan mampu mengubah keunggulan komparatif pertanian kita benar-benar menjadi keunggulan kompetitif. Knowledge-based agriculture akan mendorong petani dan dunia pertanian Indonesia yang innovatif sehingga memberikan daya tarik yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional.

Hal ini tentu saja akan memberikan pengaruh pada penciptaan kesejahteraan petani dan lebih jauh akan mengubah gambaran tentang dunia pertanian kita yang tertinggal dan terbelakang menjadi dunia pertanian yang maju dan modern.

Mukhamad Najib
The University of Tokyo
mnajib23@yahoo.com
+81-90-982-10-982

Penulis adalah Dosen Institut Pertanian Bogor dan Sekretaris Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA)

disadur dari http://suarapembaca.detik.com/read/2010/02/23/181826/1305367/471/pertanian-butuh-pengetahuan?882205470

No comments: