Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di perdesaan pada umumnya masih tertinggal jauh dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan ekonomi dan proses indutrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu kegiatan ekonomi yang dikembangkan di daerah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan yang dikembangkan di daerah perdesaan. Akibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perdesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan perdesaan.
Oleh karena itu, dalam konstelasi kota-kota dewasa ini, semestinya kawasan perdesaan semakin diperhitungkan keberadaannya. Daripada menganggap desa dan kota sebagai suatu dikotomi, akan lebih sesuai untuk menjelaskan desa-kota sebagai sebuah fenomena yang bertautan, di mana masyarakat di dalamnya secara bersama memecahkan masalah kemiskinan, perkembangan ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan.
Desa-kota (rural-urban) dalam perspektif spasial merujuk pada suatu daerah periurban yang muncul akibat adanya perluasan pembangunan pada daerah kota yang sebelumnya merupakan suatu daerah desa. Fenomena desa-kota dapat dilihat di daerah pinggiran kota (urban-fringe), seperti halnya di Kecamatan Kartasura sebagai perbatasan Kota Solo dengan Kabupaten Sukoharjo, atau Kecamatan Depok sebagai perbatasan Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Sleman. Di daerah semacam ini potensial sekali terjadi proses transformasi spasial dan sosio-ekonomik wilayah yang mengakibatkan peningkatan kegiatan ekonomi yang relatif cepat dari pertanian ke non pertanian; perubahan pemanfaatan lahan ke arah perumahan urban, industri dan non pertanian lainnya; peningkatan kepadatan penduduk; serta kenaikan harga lahan yang tanpa dibarengi adanya instrumen pengendalian yang memadai.
Maka, untuk mencegah disparitas, hyperurbanization, dan menjaga kawasan perdesaan tetap sebagai derah penyangga bagi perkotaan, selama beberapa dekade terakhir telah berkembang pemikiran-pemikiran tentang konsep pembangunan desa-kota yang terintegrasi. Salah satu yang termutakhir adalah pendekatan agropolitan yang dikemukakan oleh John Friedmann—seorang planolog dari Amerika. Pendekatan ini juga merupakan sumbangan pemikiran baru dalam perkembangan konsep-konsep perencanaan kota, yang telah dimulai dari konsep-konsep Peter Kropotkin dan Ebenezer Howard yang utopianis, sampai Lewis Mumford, Frank Llyod Wright dan Mao Ze Dong dengan konsep-konsep kotanya yang revolusioner dan reformis.
Secara harfiah, agropolitan (agro = pertanian ; politan = kota) adalah kota pertanian yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis, sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua hal utama, yaitu menerapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Secara garis besar konsep agropolitan mengetengahkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
· Sebuah modul kota dasar (basic urban module) yang terdiri dari distrik-distrik otonom, yang dibangun pada kawasan desa berkepadatan tinggi atau kawasan peri urban, dengan populasi sebesar 10.000-15.000 jiwa yang tersebar di area seluas 10-15 km2.
· Setiap distrik memiliki pusat pelayanan yang dapat diakses dengan mudah dari segala penjuru di distrik tersebut, baik dengan kaki maupun sepeda, selama 20 menit atau kurang.
· Setiap pusat pelayanan memiliki komplemen pelayanan dan fasilitas publik terstandarisasi.
· Dipilih satu distrik pusat (area desa-kota yang telah mengalami transformasi spasial paling besar) untuk dibangun agroindustri terkait.
· Lokasi dan sistem transportasi di wilayah argoindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk menglaju (commuting).
· Distrik-distrik dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas atau bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai kebutuhan.
· Setiap distrik didorong untuk membentuk satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah.
· Industri manukfatur kecil harus terdistribusi di tiap distrik dan di sepanjang jaringan jalan utama.
Kunci untuk menuju keberhasilan pembangunan agropolitan ini yaitu dengan memberlakukan setiap distrik agropolitan sebagai unit tunggal otonom mandiri, dalam artian selain menjaga tidak terlalu besar intervensi sektor-sektor pusat yang tidak terkait, juga dari segi ekonomi mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertaniannya sendiri, tetapi terintegrasi secara sinergik dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya.
Dengan konsep agropolitan yang terimplementasikan dengan baik, maka kita akan dapat menjumpai wilayah perdesaan yang modern dan maju tanpa harus ‘mengkota’, tetap bisa melihat landscape ijo royo-royo sebagai penyeimbang kota yang semakin polusi, dan tentunya masih bisa menikmati nasi, sayur, dan lauk pauk hasil bumi pertiwi kita sendiri dalam menu makan siang kita… ^_^ [PS]
1 comment:
Setuju !!! untuk hal2 yang mengarah ke perbaikan masa depan bangsa... aku setuju banget.. Nice thread bro..
Post a Comment